Memarahi Kehidupan

PERNAH ENGGAK, sih, merasa bahwa kehidupan ini jahat banget sama kita? Udah capek-capek menjalani dari hari satu ke hari lain, tetapi bakal selalu ada hal-hal yang enggak kita duga. Kadang-kadang ketika kita belajar untuk memahami alur kehidupan, mengantisipasi apa-apa yang sekiranya akan terjadi. Tapi, tetap aja, kehidupan enggak pernah bisa diprediksi—atau kasarnya, tidak dituntut untuk memahami.

Salah satu contoh kisah nyata yang cukup jenaka dan nyebelin, ketika jemuran udah siap dijemur di bawah paparan sinar matahari. Sementara cucian baju butuh waktu setengah hari untuk kering sempurna. Namun, tidak sampai satu jam cuaca berubah kelabu, mendung. Hati pun ikut mendung, pikiran cemas, memikirkan pakaian yang masih basah. Mau enggak mau, cepat-cepat diangkat untuk mengantisipasi dari hujan yang akan menghancurkan perjuangan mencuci pakai tangan dengan susah payah. Ketika sudah diangkat, semakin lucu, tampaknya langit sedang memainkan emosi. Nyatanya, beberapa menit kemudian matahari kembali berpijak di tempat sebelumnya. Dengan kesabaran dan kebaikan hati yang tersisa, rasa jengkel yang entah ke siapa harus dilampiaskan. Akhirnya kembali menjemur untuk kedua kalinya. Kejengkelan tidak berhenti di situ, bahkan semakin membludak karena hujan malah turun sementara matahari seolah-olah mengejek.

Terus, gimana?

Aku, sih, udah bodo amat! Terserah deh, basahin aja tuh cucian aku, biar bau apek sekalian, aku udah capek.

Dari hal sesederhana itu menjadi salah satu bentuk cara kehidupan seakan-akan mempermainkan alur semau mereka. Tugas kita seperti hanya mengendalikan emosi aja. Enggak adil, dipaksa menderita, dipaksa melewati hal-hal yang sulit, katanya dengan itu dapat menjadi manusia yang kuat. Tapi, kadang-kadang aku enggak butuh untuk kuat.

Ketika sehari-hari udah ditempa berkali-kali. Kesel banget, apa hidup ini sedang berperan seperti air yang menerjang terumbu karang? Apa hidup ini menganggap manusia seperti terumbu karang kuat yang kapan saja bisa diterjang semaunya? Pun, biar erlihat kokoh dan tahan banting menghadapi serangan air laut, sejatinya terumbu karang itu rapuh dan mudah hancur. Kalau-kalau ia berubah menjadi manusia, saat itu juga ia akan berteriak dan memaki-maki air laut. Begitu pun denganku yang ingin sekali memaki dan memarahi kehidupan dengan alur yang menyiksa tokohnya.

Tapi, apa gunanya melakukan hal yang enggak ada gunanya? Katanya biar hati lega dan puas, seenggaknya diri menjadi terhindar stress atau depresi. Tapi, ‘kan, hal itu hanya bertahan sejenak. Sementara, alur kehidupan akan terus berjalan sampai dunia benar-benar hancur. Sebagai orang yang sedang egois, aku hanya ingin lega selamanya tanpa lagi menikmati dramatika alur kehidupan yang bikin marah. Aku yang egois, hanya ingin bahagia secara nyata. 

Seperti aku yang sedang marah dalam tulisan ini, berkeluh kesah melalui tulisan yang aku cintai karena hanya tulisan yang patuh akan apa yang aku mau, tentang apa yang aku rasa. Sebab, hanya tulisan yang menjadi teman baik. Tulisan tidak pernah mengkhianati penulisnya, tulisan tidak pernah menyakiti penulisnya, sebab tulisan memahami, mengerti, menyayangi, penulisnya. Sebab tulisan telah menjadi bagian dari penulisnya. 

Setelah menjernihkan pikiran, aku berpikir dan bertanya-tanya tentang mengapa kehidupan selalu menempa psikis seseorang? Mungkin, sama seperti terumbu karang yang terlihat kuat, tetapi kokoh dan mudah hancur. Sebab, terumbu karang menjadi pelindung bagi ikan-ikan dan hewan laut di bawahnya. Kurasa begitu juga dengan manusia yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya bahkan orang lain.

Bukankah Allah tidak akan memberikan manusia-Nya ujian tanpa alasan?

Next Post Previous Post
2 Comments
  • Daisyhni
    Daisyhni 16 Juni 2022 pukul 07.48

    Keren bangettt tulisannyaa... Semangat vinaaa..

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 16 Juni 2022 pukul 11.02

      Makasih, Heni! Semangatt bust kamu, yaaa. 🤍

Add Comment
comment url