Senang

SETELAH melalui hari-hari yang berat, aku akan berpikir tentang keadilan di kehidupan ini. Meragukan dan bertanya-tanya, “Mengapa hidup ini enggak adil?” Sementara, aku enggak bisa berbuat apa pun selain meratap dan mengeluh. Apa salah?

Sebelumnya, enggak pernah ada dalam bayangan bahwa hidupku akan seberat ini. Sampai-sampai pernah menghakimi diri terlalu banyak dosa sehingga merasa pantas untuk menanggung beban setiap hari. Sebenarnya itu bagus, bagaimanapun ada kesalahan yang dapat diremedi. Akan tetapi, semakin hari semakin berat, yang kurasakan adalah lelah. Apakah hidup akan terus melaju dengan berat seperti ini?

Katanya sebagai manusia harus sabar dan bersyukur, betul. Bahkan dua hal itu sudah menjadi makanan pokok sehari-hari. Meskipun sulit, tetapi ketika aku enggak mampu melakukan apa pun, pada akhirnya aku dituntun untuk sabar dan bersyukur—lagi dan lagi. Ya, memang apa lagi yang bisa kuperbuat ketika masalah datang terus-menerus tanpa tahu malu?

Aku tahu, aku sering mendengar bahwa orang lain punya masalahnya sendiri. Setiap orang punya cara sendiri dalam menyelesaikan dan menghadapi masalah mereka. Kadang-kadang aku egois karena enggak mau tahu, kadang-kadang pula aku enggak peduli karena aku benar-benar jengah dengan masalah yang menempa. Namun, aku tahu aku enggak bisa menjadi egois apalagi enggak peduli, sering kali aku mencerna bahwa aku enggak sendirian di dunia ini. Bahwa ada orang lain yang sama-sama memiliki masalah sesuai dengan porsi sendiri.

Ketika dituntut untuk enggak mengemukakan kesedihan, aku terpojok. Bukankah perasaan juga sebuah aspirasi yang selayaknya dikemukakan? Dengan bodohnya aku berteriak enggak tahu malu, memaksa diri untuk mengunjuk lara. Itu enggak masuk akal memang, tetapi itulah aku yang egois dan kekanak-kanakan.

Namun, dari kebodohan itu aku belajar untuk mengontrol emosi. Memahami bahwa enggak semua perasaan mesti diunjuk setiap saat. Ada kalanya aku akan berubah menjadi pahlawan super bagi diri sendiri. Ada kalanya aku menjadi tukang bagi hati yang tengah patah. Enggak apa-apa, bukankah kekuatan dibentuk oleh pertahanan dan usaha diri aendiri?

Daripada memusuhi keadaan, kali ini aku mencoba untuk berteman dengan keadaan. Daripada memarahi kehidpan, kali ini aku lebih mencoba untuk memahami kehidupan. Daripada mencela masalah, aku lebih mencoba untuk menyayangi masalah. Daripada yang dulu-dulu, kali ini aku lebih banyak mencobanya.

Mengeluh, menangis, melemah, itu manusiawi. Aku berusaha untuk enggak keras dengan diri sendiri. Bersyukur memang keharusan, tetapi mengeluh juga diperlukan sesaat. Tertawa memang baik untuk diri, tetapi menangis juga diperlukan demi kesehatan hati. Menjadi kuat memang dibutuhkan, tetapi kadang-kadang butuh lemah untuk kembali menjadi kuat. Sesuatu yang berlebihan itu enggak baik, mengeluhlah seperlunya, menangislah seperlunya, dan melemahlah seperlunya. 

Ikhlas memang bukan hal yang mudah, kukatakan sekali lagi bahwa ikhlas adalah hal paling sulit ketika aku mengalami problematika. Akan tetapi, harus kukatakan bahwa ikhlas akan lebih mudah diterima ketika aku mau mencoba untuk memahami bahwa kehidupan enggak melulu tentang suka-suka. Hidup tengah memberi tahu bahwa aku juga butuh duka-duka sebagai bentuk syukur.

Semua orang pasti ingin kebahagiaan dalam hidupnya. Namun, hampir semua orang salah kaprah memaknai kebahagiaan. Pada awalnya aku tahunya kebahagiaan adalah ketika aku merasa hidup ini sempurna. Akan tetapi, apakah hidup ini sempurna? Semakin kuselami, aku menyadari bahwa kebahagiaan hakiki datang dari kesedihan yang pernah kulalui.

Kadang-kadang, aku harus berpura-pura bahagia karena sudah lama enggak merasakannya. Miris, tetapi itu lebih baik daripada harus memupuk beban dengan lara, ‘kan? Kurasa enggak ada salahnya untuk menyunting kebahagiaan, daripada merelakan diri pada lara yang hanya akan membuatku terjerembab.

Kataku hidup ini enggak adil saking lelah dan enggak mampunya untuk bertahan, tetapi bagi Tuhan itu sudah seadil-adilnya maka aku memilih bertahan karena-Nya.


Next Post Previous Post
4 Comments
  • Anonim
    Anonim 24 Agustus 2022 pukul 22.02

    Duh serasa ditampar setelah baca ini, rasanya seperti kurang bersyukur akan hidup ini 😢

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 24 Agustus 2022 pukul 22.29

      Hihi, selamat bersyukur, Kak!

  • Amelia
    Amelia 25 Agustus 2022 pukul 12.44

    Bersyukur memang harus menjadi pengingat untukku setiap hari. Bukan cuma sekedar melafalkan 'alhamdulillah' saja, tapi juga harus dibuktikan dengan tindakan

    • sudut pandang vina
      sudut pandang vina 29 Agustus 2022 pukul 05.53

      Iyup, hati dan fisik harus berjalan seimbang.

Add Comment
comment url